Sabtu, 19 Februari 2011

Paradigma Usang tentang HAM

Sebaik apakah pemahaman kita akan hak asasi manusia (HAM)? Apa bedanya antara hak asasi dan hak (tanpa “asasi”)? Siapa sajakah yang mempunyai hak (baik tanpa “asasi” maupun dengan “asasi”) itu? Manusia (persona) sajakah atau lembaga (non-persona) juga? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan, mengingat Indonesia pada 10 Mei lalu telah terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB (didukung oleh 165 negara dari 191 negara anggota PBB). Itu berarti, sebagai konsekuensinya, Indonesia harus betul-betul menghargai dan menegakkan aturan main soal HAM – baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam rangka itu, pemahaman kita perihal apa dan bagaimana HAM itu harus terlebih dulu “dibereskan”. Sebab, beberapa waktu lalu, seorang gurubesar mengatakan bahwa “Indonesia tidak menganut hak asasi individual”. Menurut Sri Edi Swasono, gurubesar itu, saat membedah buku Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab karya hakim konstitusi Letjen (Purn) Achmad Roestandi, Indonesia berbeda dengan dunia Barat yang menganut HAM sebagai hak asasi individual. Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara, yaitu seorang warga negara juga memiliki kewajiban asasi untuk menghormati hak-hak asasi warga negara lain. Hak asasi manusia di Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat individual yang sebebas-bebasnya.


Lebih lanjut Sri Edi mengatakan bahwa manusia Indonesia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual. Karena itu, “Di Indonesia kepentingan masyarakat yang utama. Hak asasi manusia adalah hak asasi warga negara bukan hak yang terlepas-lepas,” ujarnya.

Apa yang patut dikomentari dari pernyataan gurubesar itu? Pertama, setiap manusia di seluruh dunia sama dalam hakikatnya: sama-sama merupakan mahkluk sosial. Itu berarti, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berkawan dengan sesamanya, sehingga karena perkawanan itulah maka selanjutnya terbentuk perkumpulan-perkumpulan, baik yang kecil maupun besar, baik yang bersifat sosial, budaya, ekonomis, politis, dan lainnya.

Kedua, setiap manusia telah diberikan Tuhan hak-hak yang tidak dapat dicabut oleh pihak manapun juga. Itulah yang disebut hak asasi. Hanya manusialah yang menerima hak-hak seperti itu, dan bukan mahkluk lainnya, karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Jadi, apa yang disebut HAM itu bersifat given (terberi) — dari Tuhan. Karena itu, hanya Tuhan jualah yang boleh mencabutnya, sedangkan pihak lain tidak boleh — termasuk negara.

Itulah HAM, yang berbeda dengan hak (tanpa “asasi”). Barang (milik) saya, itu adalah hak saya. Orang lain tidak boleh mengambilnya. Bahkan sekedar menggunakan barang itu sesaat pun tidak boleh, kecuali dengan seizin saya. Tapi, selekas barang itu saya jual, maka hilanglah hak saya atas barang itu. Itulah hak (tanpa “asasi”), yang dapat saja dicabut atau terlepas dari diri manusia karena sebab atau alasan yang bermacam-macam.

Ketiga, pendekatan partikularistik dan relativisme budaya yang memandang bahwa HAM di Indonesia berbeda dengan HAM di negara-negara Barat sudah seharusnya ditinggalkan. Apalagi sekarang sudah era globalisasi, yang membuat bangsa-bangsa di belahan dunia mana pun hidup bagaikan di sebuah desa buana (global village), sehingga berbagai pandangan, sikap, dan nilai-nilai kian lama kian mirip satu sama lain. Salah satunya adalah pemaknaan atas HAM itu tadi. Bahwa HAM adalah hak asasi setiap manusia yang bersifat universal (untuk semua orang di dunia tanpa hiraukan latar belakangnya), yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada semua manusia sebagai mahkluk ciptaan-Nya yang secitra dengan-Nya (dalam bahasa Latin disebut “imago dei”). Jadi, selain bersifat ilahi, HAM itu juga bersifat individual atau tak terbagi (in-divere, asal kata untuk individu).

Demi tercapainya kehidupan manusia yang sungguh-sungguh bermartabatlah maka negara harus menjamin pemenuhan HAM bagi setiap warga negaranya. Untuk itulah negara dibentuk, dan mereka yang memiliki kedudukan sebagai penyelenggara maupun aparatus negara diberikan sejumlah kewenangan sekaligus kewajiban. Dalam rangka itu pula maka selanjutnya negara membuat hukum sebagai landasan untuk upaya pemenuhan HAM tersebut. Disebabkan adanya hukum, maka tak mungkin kebebasan yang merupakan HAM setiap orang menjadi liar “sebebas-bebasnya”. Apalagi kita pada umumnya tak hidup di ruang-hampa yang tak ada hukum maupun acuan budayanya. Kita pada umumnya hidup di ruang-ruang kebersamaan yang memiliki sejumlah aturan main demi terwujudnya keharmonisan dan ketertiban hidup dalam kebersamaan itu. Kondisi-kondisi itulah yang membuat HAM dalam pemenuhannya juga harus diimbangi dengan kewajiban-kewajiban. Jadi, menghormati HAM orang lain, itu memang merupakan keniscayaan sebagaimana orang lain pun harus menghormati HAM yang kita miliki.

Dalam kaitan itu, mana yang utama: kepentingan individual atau kepentingan masyarakat? Tak mudah menentukannya. Mementingkan diri sendiri, itu jelas penting. Nilai budaya yang individualistik, yang umumnya sangat dihayati oleh orang-orang Barat, ini tak sama dengan egois. Dengan egois, itu berarti kita menuntut orang-orang lain untuk mementingkan diri kita – sehingga mereka harus selalu mengalah atau berkorban untuk kita. Sedangkan individualistik berarti setiap orang sadar betul bahwa ia memiliki kedirian (selfness) yang harus diurusinya sendiri, demi diri sendiri. Penghayatan yang mendalam atas nilai individualistik ini, seiring waktu, niscaya menumbuhkan nilai independensi (kemandirian), yang terbiasa mengandalkan diri sendiri dan bertanggung jawab atas nama dan kepada diri sendiri. Berbagai contoh untuk itulah yang disebut swa..… (dalam bahasa Indonesia, semisal swalayan) atau self-..… (dalam bahasa Inggris, semisal self-service), dan lainnya.

Namun, bukan berarti karena penghayatan yang mendalam atas nilai individualistik itu maka masyarakat menjadi tidak penting bagi kita. Tentu saja masyarakat juga penting, karena dengan dan di dalam masyarakatlah kedirian setiap orang menemukan maknanya. Tapi, bagaimana mungkin kita dapat mementingkan masyarakat jika mementingkan diri sendiri saja tak mampu? Dalam konteks inilah maka manusia menjadi mahkluk yang bersifat individual sekaligus juga sosial (homo socius). Manusia memiliki kedirian, tetapi juga membutuhkan sesamanya yang lain. Jadi, masing-masing sama-sama bernilai penting dalam konteksnya masing-masing.

Berdasarkan itu, maka ada paradigma lain yang juga harus diperbarui untuk Indonesia sekarang dan ke depan. Sebuah kalimat klasik bernilai adiluhung “jangan tanya apa yang negara dapat berikan kepadamu, melainkan tanyalah apa yang sudah kau berikan kepada negara” rasanya sudah usang dan karena itu harus dikritisi. Bukankah justru kita patut bertanya terus-menerus kepada negara ini perihal apa yang mereka (para pejabat negara) sudah berikan kepada kita? Di dalam pertanyaan itulah tercemin adanya fungsi kontrol kita selaku warga negara yang baik.

Kembali pada HAM, sesungguhnya pemenuhan HAM itu tidaklah mengenal pembedaan warga negara atau bukan warga negara. Jadi, sekalipun ada banyak orang asing (bukan warga negara Indonesia) yang tinggal di Indonesia, HAM mereka harus tetap dihormati. Mereka, misalnya, berhak untuk hidup dan karena itu tidak boleh dibunuh oleh siapa pun. Tetapi, untuk dapat menikmati hidup di Indonesia, tentu mereka harus memenuhi terlebih dulu sejumlah syarat tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, maka HAM juga bersifat dapat diatur (regulable) sekaligus dapat dibatasi (limitable).

Dalam contoh-contoh yang lain, sifat HAM yang regulable dan limitable itu sebenarnya juga berlaku bagi warga negara Indonesia. Bahkan, ada juga HAM yang bersifat derogable (dapat ditangguhkan pemenuhannya) karena kondisi-kondisi tertentu dan sebaliknya non-derogable (tak dapat ditangguhkan pemenuhannya) tak hirau dalam kondisi apa pun (Gromme, 2001).

Memang, cukup banyak dimensi-dimensi dalam HAM yang harus betul-betul dipahami agar Indonesia kelak mendapatkan penilaian “memang pantas” menjadi anggota Dewan HAM PBB. Untuk itu, selain harus memperbarui paradigma tentang HAM yang sudah usang dan mendiseminasikannya kepada masyarakat luas, Pemerintah Indonesia juga harus terus-menerus mengevaluasi kinerjanya dalam pemenuhan HAM terkait dengan orang-orang yang selama ini mengalami sikap dan perlakuan diskriminatif negara, semisal dalam hal berkeyakinan dan beribadah sesuai keyakinannya itu. Lebih dari itu, Pemerintah Indonesia tak boleh melupakan begitu saja pelbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa silam. Sebab, mereka yang melupakan (pelanggaran HAM berat) masa lalu cenderung akan mengulangi kembali (pelanggaran HAM berat itu) di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar